HEBOH !!! Patung Macan Lucu yang Viral di Sosmed


Netizen sempat dihebohkan patung macan 'lucu' di Markas Komando Rayon Militer (Koramil) 1123 Cisewu, Garut, Jawa Barat. Patung macan tersebut memiliki mulut dengan ukuran yang sedikit lebar sehingga terlihat seperti sedang tersenyum.

Nah, belakangan beredar foto yang memperlihatkan patung macan hitam di Kepolisian Sektor (Polsek) Cisompet, Garut. Macan tersebut menjadi tenar karena memiliki bentuk yang hampir sama dengan patung macan loreng di Koramil Cisewu. Bagian mulut macan tersebut bentuknya sedikit lebar dan memiliki ukuran tubuh yang lebih besar.

Kapolsek Cisompet AKP Asep Dedi Sudrajat membenarkan bahwa patung macan tersebut merupakan patung macan Polsek Cisompet.

Foto patung macan yang beredar di media sosial tersebut merupakan foto yang diambil beberapa tahun ke belakang.

"Itu fotonya diambil beberapa tahun yang lalu," tegasnya.

Ia juga mengatakan patung macan itu sendiri sudah dibongkar dan diganti dengan patung macan yang baru pada pertengahan 2016.

"Patungnya sudah diganti tahun 2016. Sebelum saya tugas di sini juga itu sudah diganti," ungkap Asep.

Patung macan 'aneh' tersebut dibuat sejak Polsek Cisompet berdiri pada tahun 1990-an.

Ada ambigu dalam arena rampogan sima. Pertunjukan yang meminta nyawa harimau itu marak digelar masyarakat Jawa pada abad terdahulu, sebelum akhirnya sang macan loreng punah dari Pulau Jawa.

Buku 'Bakda Mawi Rampog' karya R Kartawibawa menjelaskan soal rampogan sima. Tombak-tombak yang dipegang ribuan pria di alun-alun berebut mengakhiri hidup harimau yang hendak menyelamatkan diri dari kerumunan.

Sebenarnya bagaimana masyarakat saat itu memandang sosok harimau? Apakah harimau ini memang dianggap sebagai hewan yang pantas dihabisi?

Robert Wessing dalam tulisannya menjelaskan pada awal abad ke-19, masih banyak harimau Jawa (Panthera tigris sondaica) yang berkeliaran. Terkadang tempat hidup harimau tumpang-tindih dengan tempat hidup manusia di tepi hutan.

Pada masyarakat Jawa kala itu, ada kepercayaan tentang harimau. Orang desa percaya bahwa harimau adalah jelmaan roh leluhur yang menjaga dan memantau perilaku penduduk desa. Namun orang Keraton (orang kota Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta) memandang harimau sebagai simbol sifat liar, tak bisa diatur, dan bertentangan dengan budaya adiluhung.

Terlepas dari keragaman kepercayaan soal harimau itu, masyarakat Jawa pada dasarnya menaruh hormat pada harimau. Mereka memanggil harimau dengan panggilan takzim, yakni 'mbah', 'nenek', 'kiai', atau 'kiaine'. Harimau dipercaya punya kesaktian supernatural, lengkap dengan mitos dan legendanya.

Harimau dan hutan dipandang sebagai satu kesatuan. Saat seseorang mencari kayu di hutan, orang itu akan dihalangi oleh harimau. Namun, saat orang itu akan memburu harimau, harimau itu akan disembunyikan oleh hutan, atau orang itu akan disesatkan oleh hutan yang angker. Ada dayang siluman yang bisa membuat bingung manusia saat memasuki rimba raya. Begitulah cerita orang Jawa.

Harimau juga dipandang sebagai satu keturunan dengan manusia. Saat masuk hutan, orang harus meminta izin kepada harimau, "Mbah, mohon jangan sakiti saya. Saya putra Adam. Silakan lewat dan jangan ganggu saya." Biasanya ucapan izin ini diikuti salawat. Tentu bentuk dari kepercayaan ini berbeda-beda antara kawasan satu dan yang lain di Pulau Jawa, atau lebih spesifik lagi masyarakat Jawa.

Karena menganggap bahwa harimau dan manusia adalah satu keturunan, diimajinasikan manusia bisa berubah menjadi harimau (paling tidak kesurupan) atau juga harimau bisa menjelma menjadi manusia. Begitulah kepercayaan masyarakat Jawa yang dipaparkan Wessing.

R Kartawibawa menceritakan soal macan yang besar dan beringas di hutan Lodaya dekat Blitar. Bupati setempat punya wasiat berupa cemeti keramat. Cemeti itu bisa menaklukkan harimau, membuat harimau bisa menari, dan melompat seperti monyet pertunjukan.

Soal rampogan sima, Kartawibawa menjelaskan harimau tua dilarang digunakan dalam acara. Soalnya, bila harimau tua dan besar dibunuh dalam rampogan sima, rohnya bisa menghantui para pembunuhnya dan membuat kekacauan negara. Harimau yang tua dan besar boleh dibunuh dengan cara dibenamkan di sungai. Terlepas dari hal itu, acara rampogan sima tetap berujung matinya harimau.

Rampogan itu terdiri dari dua sesi. Pertama adalah harimau versus kerbau, kedua adalah harimau versus ribuan orang bertombak. Berdasarkan laporan dari Van Hogendrop, harimau yang mati dalam pertarungan dengan kerbau di Tumapel kadang-kadang dikerek menggantung menggunakan tali. Demi kesenangan para penton, mayat harimau itu dibiarkan diterjang terus-menerus oleh kerbau. Penonton bersorak.

Bukankah orang-orang ini menganggap harimau sebagai simbah (kakek), bahkan kiai? Kenapa mereka tega membunuh simbah dan kiai mereka sendiri?

Perubahan ekologis barangkali turut menjadi sebab. Hutan-hutan dibabat demi memperluas permukiman dan kepentingan manusia. Pada 1822, pemerintah mulai mempekerjakan pemburu harimau. Pada pertengahan abad ke-19, pembukaan hutan membawa perubahan besar-besaran, senapan digunakan, dan membunuh harimau jadi bisa lebih efisien. Semakin luasnya permukiman penduduk, itu berarti menggusur hutan tempat harimau bernaung.

"Maka hasilnya, jumlah harimau anjlok drastis," kata Wessing.

Seiring dengan itu, harimau dirasa manusia semakin mengganggu kehidupan. Konflik harimau dan manusia terjadi, demi berebut tempat hidup. Seiring dengan zaman kolonialisme, rampogan sima menjadi lestari. Hasrat untuk menghabisi pengganggu yang dulu dianggap sebagai 'simbah' dan 'kiai' mendapatkan pelampiasannya lewat rampogan sima. Ambiguitas antara nilai lama dan nilai baru menjadi bisa dipahami, meski pahit tentu.

"Ketika ini (pandangan alam tradisional) mati, maka harimau juga mati, karena pertahanan harimau oleh adat adalah bagian dari adat, sebagaimana harimau itu sendiri," kata Wessing dalam 'The Last Tiger in East Java: Symbolic Continuity in Ecological Change'.

Ternyata, rampogan juga bagian dari hiburan yang digelar Kasultanan Yogyakarta saat menyambut tamu dari Eropa. Saat harimau mulai sulit ditemukan, atraksi ini bergeser ke kawasan yang jauh dari kota. Lama-lama jumlah harimau menipis. Negara melarang atraksi ini pada 1905.

No comments