Cerita Lucu Soal Pencuri Bodoh
Marcello menghitung-hitung uang yang tersisa di dompetnya. Uang kertas hanya ada dua lembar dua ribuan. Lainnya tidak ada. “Hhh…” dihelanya nafasnya dengan berat. Dirogoh-rogoh saku celana panjangnya. Tangannya menyentuh uang koin. Segera ditariknya tangannya untuk menghitung berapa uang koin yang ia dapat. Hanya ada satu keping seribu. Matanya melirik ke arah meja dimana dua lembar dua ribuan itu ia letakkan.
“Total lima ribu,” desisnya pasrah. “Makan ape malem ini aku?” Marcello malas membayangkan untuk makan nasi dan garam lagi. Kemarin sudah menu yang sama. Handphonenya yang ia simpan di saku bajunya bergetar.
Memang sengaja ia menonaktifkan nada deringnya. Dari layar handphonenya terbaca nama si penelpon. Danu.
“Oi, Ndy! Lagi ngapain lu?” suara cempreng Danu mendahului sapaan Marcello, seakan-akan terdengar hingga keluar dari kamar kontrakan Marcello.
“Buset, kenceng amat suara lu. Pelanin dikit!” bentak Marcello.
“Yoi, ini sudah pelan,” protes Danu.
Marcello menggaruk-garuk kepala. Danu memang tak pernah sadar kalau suaranya tipe yang memekakkan telinga. “Ada apa kamu nelpon aku?” tanyanya.
“…aku mau nawarin kamu kerjaan. Mao?” ujar Danu tanpa basa-basi.
Marcello yang tadinya bersandar di kursi dengan malas, segera menegakkan punggungnya. “Kerjaan apaan?” rasa penasaran mengusiknya.
“Cuman mindahin barang aja. Mao?”
“Barang apaan, Nu?”
“Ahhh, itu nanti penjelasannya. Ini mao, tidak?” kelit Danu.
Tanpa pikir panjang, Marcello mengangguk. “Mao, mao,” serunya semangat.
“kamu nganggukin kepala?” tebak Danu.
“Hoh… Iya. Kenapa emangnya?”
“tidak. Cuman tanya doank. kamu biasanya gitu, sih. Orang yang ngajak ngomong tidak liat, lunya tetep angguk-angguk.” Tawa terkekeh terdengar dari mulut Danu.
Seketika itu juga Marcello baru sadar, kalau mereka sedang saling telpon. Menganggukpun sebenarnya percuma.
“Temuin aku jam sembilan malam. Tet, tidak pake lama en tidak pake telat.”
“Di mana?”
“Di tempat biasa.”
“Lha, tempat biasa di mana? aku ‘kan jarang ketemuan sama kamu,” gerutu Marcello.
“Oh…” Danu terdengar seperti berpikir. “Di lapangan parkir deket tempat maen bola. Tau, ‘kan?”
“Mana, tuh?”
“Yaelah, masak tidak tau?”
“Emang tidak tau lapangan parkir yang kamu maksud. Kalo setau aku deket tempat maen bola itu kuburan, bukan lapangan parkir.”
“Emang yang itu,” jawab Danu sekenanya. “aku sering parkir di kuburan sono. Grates soalnya.”
Marcello menepuk jidatnya. “Ya, udah. Ketemuan di kuburan, ya.”
“Lapangan parkir.”
“Auk ah, gelap!”
“Emang ke sananya malem, kok.”
“aku tutup, nehhh,” Marcello jadi kesal.
“Jangan lupa, jam sembilan malem,” Danu mengulangi.
Marcello menghela nafas. “Iyeee, tidak pake lama en tidak pake telat. Ya, toh?”
“Cakeeeppp…!”
Dinginnya angin malam serasa menusuk kulit. Marcello yang memakai pakaian hitam dua lapis masih saja merasa kedinginan. Ia menunggu kedatangan Danu.
“Total lima ribu,” desisnya pasrah. “Makan ape malem ini aku?” Marcello malas membayangkan untuk makan nasi dan garam lagi. Kemarin sudah menu yang sama. Handphonenya yang ia simpan di saku bajunya bergetar.
Memang sengaja ia menonaktifkan nada deringnya. Dari layar handphonenya terbaca nama si penelpon. Danu.
“Oi, Ndy! Lagi ngapain lu?” suara cempreng Danu mendahului sapaan Marcello, seakan-akan terdengar hingga keluar dari kamar kontrakan Marcello.
“Buset, kenceng amat suara lu. Pelanin dikit!” bentak Marcello.
“Yoi, ini sudah pelan,” protes Danu.
Marcello menggaruk-garuk kepala. Danu memang tak pernah sadar kalau suaranya tipe yang memekakkan telinga. “Ada apa kamu nelpon aku?” tanyanya.
“…aku mau nawarin kamu kerjaan. Mao?” ujar Danu tanpa basa-basi.
Marcello yang tadinya bersandar di kursi dengan malas, segera menegakkan punggungnya. “Kerjaan apaan?” rasa penasaran mengusiknya.
“Cuman mindahin barang aja. Mao?”
“Barang apaan, Nu?”
“Ahhh, itu nanti penjelasannya. Ini mao, tidak?” kelit Danu.
Tanpa pikir panjang, Marcello mengangguk. “Mao, mao,” serunya semangat.
“kamu nganggukin kepala?” tebak Danu.
“Hoh… Iya. Kenapa emangnya?”
“tidak. Cuman tanya doank. kamu biasanya gitu, sih. Orang yang ngajak ngomong tidak liat, lunya tetep angguk-angguk.” Tawa terkekeh terdengar dari mulut Danu.
Seketika itu juga Marcello baru sadar, kalau mereka sedang saling telpon. Menganggukpun sebenarnya percuma.
“Temuin aku jam sembilan malam. Tet, tidak pake lama en tidak pake telat.”
“Di mana?”
“Di tempat biasa.”
“Lha, tempat biasa di mana? aku ‘kan jarang ketemuan sama kamu,” gerutu Marcello.
“Oh…” Danu terdengar seperti berpikir. “Di lapangan parkir deket tempat maen bola. Tau, ‘kan?”
“Mana, tuh?”
“Yaelah, masak tidak tau?”
“Emang tidak tau lapangan parkir yang kamu maksud. Kalo setau aku deket tempat maen bola itu kuburan, bukan lapangan parkir.”
“Emang yang itu,” jawab Danu sekenanya. “aku sering parkir di kuburan sono. Grates soalnya.”
Marcello menepuk jidatnya. “Ya, udah. Ketemuan di kuburan, ya.”
“Lapangan parkir.”
“Auk ah, gelap!”
“Emang ke sananya malem, kok.”
“aku tutup, nehhh,” Marcello jadi kesal.
“Jangan lupa, jam sembilan malem,” Danu mengulangi.
Marcello menghela nafas. “Iyeee, tidak pake lama en tidak pake telat. Ya, toh?”
“Cakeeeppp…!”
Dinginnya angin malam serasa menusuk kulit. Marcello yang memakai pakaian hitam dua lapis masih saja merasa kedinginan. Ia menunggu kedatangan Danu.
Sudah lima belas menit ia berdiri di sana, di pintu masuk kuburan. Tangan dan kakinya sudah ia relakan digigit nyamuk. Setiap saat ia garuk-garuk saking gatalnya. “Mana sih tuh anak?!” gerutunya sebal.
“Ndyyy!” seru Danu bersemangat. Ia berjalan seraya menenteng karung hitam.
“Lama bener, lu!” semprot Marcello begitu Danu berdiri tepat di depannya.
“Ya, maaf. aku keburu mules. Daripada kenapa-napa, ya mending aku selesein urusan perut aku.”
“Yang tadi bilang tidak pake lama en tidak pake telat siapa, yak?” cibir Marcello.
Danu menyengir. “Udah, ah. Yang penting sekarang kita sudah bisa mulai kerjaan kita.”
“Eits, ‘ntar dulu,” sergah Marcello curiga. “Karung item yang kamu bawa untuk apaan?”
“Ini?” Danu mengangkat karung hitam di tangannya. “Untuk mindahin barang seperti yang aku bilang tadi.”
“Itu kerjaannya? Beneran?”
“He-eh, beneran.”
Marcello memicingkan matanya menatap Danu. “Jangan bilang… kamu ngajakin aku ngerampok?” nada suaranya meninggi.
“Ssshhh!!!” Danu segera menutup mulut Marcello. “Jangan keras-keras ngomongnya.”
“Jadi bener?”
“tidak ngerampoklah,” Danu ngeles. “Ini nanti kita mindahin barang Pak Broto ke dalam karung. Mindahin.” Danu menekankan nada suaranya.
“Yang nyuruh siapa, nih?” pancing Marcello.
“Saingan bisnisnya,” sahut Danu enteng. “Ni kamu mau ikut kerja malam ini, tidak? Kalo tidak ya kamu pulang aja.”
Perut Marcello yang keroncongan karena belum makan terdengar sampai ke telinga Danu.
Danu menoleh ke arahnya. “kamu laper, ya?”
“Iya, nih,” Marcello mengusap perutnya seraya meringis. “aku belum makan. Duit di dompet cuman sisa lima ribu perak,” katanya dengan malu.
“Bukannya ini jadi kesempatan buat ekamu dapet duit? Biar bisa beli makan malem,” tawar Danu.
“Aduhhh…,” Marcello mendesah sebal. “Harus, ya?”
“Kalo kamu mau dapet duit ya kerja.”
“Tapi ‘kan tidak kerja ngerampok juga, Nu!”
“Saat ini cuman itu satu-satunya cara.”
“Emangnya… saingan bisnis Pak Broto ngasih kamu berapa sih, sampe bela-belain kamu mau lakuin hal ini?”
Danu mengacungkan kelima jemari tangan kanannya.
“Lima ratus ribu?”
“tidaklah! Ini lima juta,” sahut Danu bersemangat. “Lima juta,” ulangnya lagi.
Mata Marcello membelalak. “Serius, lu?”
“Yap!”
“T’rus, aku dapet berapa kalo aku ikut kamu?”
“Fifty-fiftylaaahhh…”
Jantung Marcello berdegup kencang. “Lima puluh ribu kamu kasih aku?” Nada suaranya kecewa.
“Yang benar ajaaa! Fifty-fifty maksudnya kamu dapet setengahnya, aku juga setengahnya.”
“Jadi berapa?” Marcello malas menghitung.
“Dua setengah.”
“Berapa?” ulang Marcello.
“Juta!”
“Wih!!!” perut Marcello semakin keroncongan.
“Ayok, berangkat sekarang ke rumah Pak Broto,” ajak Danu.
“Let’s go!” sahut Marcello semangat.
Rumah Pak Broto berlantai dua. Gerbangnya tinggi, dan tak dijaga. Kalau dari analisa Danu, mereka berdua bisa masuk dari balkon lantai dua.
“Ini emang tidak dijaga, ya?” Marcello celingak-celinguk melihat sekeliling.
“Kemarin baru dipecat satpamnya, makanya sekarang ini masih aman,” jelas Danu.
Mereka berdua memanjat gerbang walau agak kesulitan. Tapi, tak lama kemudian mereka sudah berada di halaman dalam. Sambil berjinjit, keduanya menuju ke bawah balkon.
“Manjatnya gimana?” tanya Marcello.
“Pake inilah,” Danu mengeluarkan tali dari dalam karung hitam yang dibawanya.
“Diapain?”
“Haduuuh! kamu tidak pernah nonton pelem-pelem action, yak?”
“Oh…, pernah sih…” sahut Marcello sebal. “Tapi ‘kan aku tidak pernah mikir bakalan aku praktekin di sini. Sama ekamu pula,” protesnya.
Tali yang ada pengaitnya dilemparkan ke atas sehingga kaitannya menancap di antara kedua pot besar di pinggir balkon. Danu mencoba menariknya, pot besar itu tak bergeming. “Bisa dipanjat, nih,” bisiknya senang.
Tanpa halangan berarti mereka sudah naik ke balkon. Danu membuka pintu di lantai dua dengan kawat. Entah darimana ia mempelajarinya, bisa jadi dari film juga.
Saat masuk ke dalam ruangan di lantai dua, ternyata mereka masuk ke dalam ruang keluarga Pak Broto. Ada banyak foto keluarga di dindingnya. Marcello melihat keadaan sekeliling dalam gelap. “Fotonya kebanyakan. Malem gini ngeliatnya serem…,” batinnya.
Danu dengan lincah berjalan ke arah lemari kaca yang besar. Di dalamnya banyak benda-benda pajangan yang antik-antik. Matanya berbinar-binar melihat semua yang di dalam lemari kaca.
“Itu yang kata kamu mindahin barang?” tanya Marcello mendekat ke arah Danu.
“Yup. Bantuin aku mindahin ini semua ke karung itu,” tunjuk Danu ke karung hitam yang dibawanya.
“Hah? Semua?” ulang Marcello tak percaya. “Serius lu? Emangnya cukup semuanya masuk di sini?”
“Kalo ndak masuk semua, yaaa… sampai karung penuhlah.”
Marcello cemberut. Perutnya kembali berbunyi. Sambil memasukkan barang-barang antik Pak Broto, matanya jelalatan melihat kira-kira apa ada makanan di dekat sana. Di dekat meja telpon, ada setoples kue kering.
“Ndyyy!” seru Danu bersemangat. Ia berjalan seraya menenteng karung hitam.
“Lama bener, lu!” semprot Marcello begitu Danu berdiri tepat di depannya.
“Ya, maaf. aku keburu mules. Daripada kenapa-napa, ya mending aku selesein urusan perut aku.”
“Yang tadi bilang tidak pake lama en tidak pake telat siapa, yak?” cibir Marcello.
Danu menyengir. “Udah, ah. Yang penting sekarang kita sudah bisa mulai kerjaan kita.”
“Eits, ‘ntar dulu,” sergah Marcello curiga. “Karung item yang kamu bawa untuk apaan?”
“Ini?” Danu mengangkat karung hitam di tangannya. “Untuk mindahin barang seperti yang aku bilang tadi.”
“Itu kerjaannya? Beneran?”
“He-eh, beneran.”
Marcello memicingkan matanya menatap Danu. “Jangan bilang… kamu ngajakin aku ngerampok?” nada suaranya meninggi.
“Ssshhh!!!” Danu segera menutup mulut Marcello. “Jangan keras-keras ngomongnya.”
“Jadi bener?”
“tidak ngerampoklah,” Danu ngeles. “Ini nanti kita mindahin barang Pak Broto ke dalam karung. Mindahin.” Danu menekankan nada suaranya.
“Yang nyuruh siapa, nih?” pancing Marcello.
“Saingan bisnisnya,” sahut Danu enteng. “Ni kamu mau ikut kerja malam ini, tidak? Kalo tidak ya kamu pulang aja.”
Perut Marcello yang keroncongan karena belum makan terdengar sampai ke telinga Danu.
Danu menoleh ke arahnya. “kamu laper, ya?”
“Iya, nih,” Marcello mengusap perutnya seraya meringis. “aku belum makan. Duit di dompet cuman sisa lima ribu perak,” katanya dengan malu.
“Bukannya ini jadi kesempatan buat ekamu dapet duit? Biar bisa beli makan malem,” tawar Danu.
“Aduhhh…,” Marcello mendesah sebal. “Harus, ya?”
“Kalo kamu mau dapet duit ya kerja.”
“Tapi ‘kan tidak kerja ngerampok juga, Nu!”
“Saat ini cuman itu satu-satunya cara.”
“Emangnya… saingan bisnis Pak Broto ngasih kamu berapa sih, sampe bela-belain kamu mau lakuin hal ini?”
Danu mengacungkan kelima jemari tangan kanannya.
“Lima ratus ribu?”
“tidaklah! Ini lima juta,” sahut Danu bersemangat. “Lima juta,” ulangnya lagi.
Mata Marcello membelalak. “Serius, lu?”
“Yap!”
“T’rus, aku dapet berapa kalo aku ikut kamu?”
“Fifty-fiftylaaahhh…”
Jantung Marcello berdegup kencang. “Lima puluh ribu kamu kasih aku?” Nada suaranya kecewa.
“Yang benar ajaaa! Fifty-fifty maksudnya kamu dapet setengahnya, aku juga setengahnya.”
“Jadi berapa?” Marcello malas menghitung.
“Dua setengah.”
“Berapa?” ulang Marcello.
“Juta!”
“Wih!!!” perut Marcello semakin keroncongan.
“Ayok, berangkat sekarang ke rumah Pak Broto,” ajak Danu.
“Let’s go!” sahut Marcello semangat.
Rumah Pak Broto berlantai dua. Gerbangnya tinggi, dan tak dijaga. Kalau dari analisa Danu, mereka berdua bisa masuk dari balkon lantai dua.
“Ini emang tidak dijaga, ya?” Marcello celingak-celinguk melihat sekeliling.
“Kemarin baru dipecat satpamnya, makanya sekarang ini masih aman,” jelas Danu.
Mereka berdua memanjat gerbang walau agak kesulitan. Tapi, tak lama kemudian mereka sudah berada di halaman dalam. Sambil berjinjit, keduanya menuju ke bawah balkon.
“Manjatnya gimana?” tanya Marcello.
“Pake inilah,” Danu mengeluarkan tali dari dalam karung hitam yang dibawanya.
“Diapain?”
“Haduuuh! kamu tidak pernah nonton pelem-pelem action, yak?”
“Oh…, pernah sih…” sahut Marcello sebal. “Tapi ‘kan aku tidak pernah mikir bakalan aku praktekin di sini. Sama ekamu pula,” protesnya.
Tali yang ada pengaitnya dilemparkan ke atas sehingga kaitannya menancap di antara kedua pot besar di pinggir balkon. Danu mencoba menariknya, pot besar itu tak bergeming. “Bisa dipanjat, nih,” bisiknya senang.
Tanpa halangan berarti mereka sudah naik ke balkon. Danu membuka pintu di lantai dua dengan kawat. Entah darimana ia mempelajarinya, bisa jadi dari film juga.
Saat masuk ke dalam ruangan di lantai dua, ternyata mereka masuk ke dalam ruang keluarga Pak Broto. Ada banyak foto keluarga di dindingnya. Marcello melihat keadaan sekeliling dalam gelap. “Fotonya kebanyakan. Malem gini ngeliatnya serem…,” batinnya.
Danu dengan lincah berjalan ke arah lemari kaca yang besar. Di dalamnya banyak benda-benda pajangan yang antik-antik. Matanya berbinar-binar melihat semua yang di dalam lemari kaca.
“Itu yang kata kamu mindahin barang?” tanya Marcello mendekat ke arah Danu.
“Yup. Bantuin aku mindahin ini semua ke karung itu,” tunjuk Danu ke karung hitam yang dibawanya.
“Hah? Semua?” ulang Marcello tak percaya. “Serius lu? Emangnya cukup semuanya masuk di sini?”
“Kalo ndak masuk semua, yaaa… sampai karung penuhlah.”
Marcello cemberut. Perutnya kembali berbunyi. Sambil memasukkan barang-barang antik Pak Broto, matanya jelalatan melihat kira-kira apa ada makanan di dekat sana. Di dekat meja telpon, ada setoples kue kering.
Belum selesai memasukkan benda antiknya, Marcello sudah beranjak mendekat ke arah toples itu. Tanpa pikir panjang, ia mengambilnya dan kemudian ikut dimasukkan ke dalam karung. Hal itu dilakukannya tanpa sepengetahuan Danu.
Kurang dari sepuluh menit, mereka berdua sudah selesai melakukan kejahatan mereka.
“Ayo, keluar dari sini,” bisik Danu.
Dengan ogah-ogahan Marcello menurutinya. Perutnya sudah lapar tingkat dewa, tapi ia tak mau tertangkap. Sudah kepalang basah ikut Danu.
Mereka berhasil keluar. Semua rencana Danu sukses. Malam itu juga Danu memberikan bayaran bagian Marcello dalam sebuah amplop yang sudah sejak sebelum berangkat ia siapkan.
“Oh…, ada satu lagi,” seru Marcello.
“Apaan?”
“Tadi aku ada masukin setoples kue kering.”
“Heh? Di mana?” potong Danu cepat.
“Di karung,” jawab Marcello enteng.
“Mau kamu ambil toplesnya?”
“Iya,” Marcello nyengir.
Danu mengomel. “Elu, Ndy… Bikin kerjaan nambah aja ini, bongkar karung lagi aku,” gerutunya.
Dan, saat toples berisi kue kering itu ditemukan Danu, Marcello segera mengambilnya. Sambil mengembalikan amplop yang berisikan uang dua setengah juta bagiannya.
“Lho?” Danu tampak kebingungan. “Ini ngapain dikembaliin?” tanyanya heran.
“Ambil aja, aku cuman butuh kue keringnya,” jawab Marcello. “Perut aku laper banget,” lanjutnya seraya membuka tutup toples itu.
“Ng… Yakin nih kamu tidak mau duitnya?”
Marcello menggeleng. “Ambil aja. aku cuman tertarik kue keringnya,” dilahapnya satu dan dikunyahnya dengan sepenuh hati.
Danu hanya bisa melongo memandangi Marcello yang tampak begitu nikmat memakan kue hasil curiannya.
Kurang dari sepuluh menit, mereka berdua sudah selesai melakukan kejahatan mereka.
“Ayo, keluar dari sini,” bisik Danu.
Dengan ogah-ogahan Marcello menurutinya. Perutnya sudah lapar tingkat dewa, tapi ia tak mau tertangkap. Sudah kepalang basah ikut Danu.
Mereka berhasil keluar. Semua rencana Danu sukses. Malam itu juga Danu memberikan bayaran bagian Marcello dalam sebuah amplop yang sudah sejak sebelum berangkat ia siapkan.
“Oh…, ada satu lagi,” seru Marcello.
“Apaan?”
“Tadi aku ada masukin setoples kue kering.”
“Heh? Di mana?” potong Danu cepat.
“Di karung,” jawab Marcello enteng.
“Mau kamu ambil toplesnya?”
“Iya,” Marcello nyengir.
Danu mengomel. “Elu, Ndy… Bikin kerjaan nambah aja ini, bongkar karung lagi aku,” gerutunya.
Dan, saat toples berisi kue kering itu ditemukan Danu, Marcello segera mengambilnya. Sambil mengembalikan amplop yang berisikan uang dua setengah juta bagiannya.
“Lho?” Danu tampak kebingungan. “Ini ngapain dikembaliin?” tanyanya heran.
“Ambil aja, aku cuman butuh kue keringnya,” jawab Marcello. “Perut aku laper banget,” lanjutnya seraya membuka tutup toples itu.
“Ng… Yakin nih kamu tidak mau duitnya?”
Marcello menggeleng. “Ambil aja. aku cuman tertarik kue keringnya,” dilahapnya satu dan dikunyahnya dengan sepenuh hati.
Danu hanya bisa melongo memandangi Marcello yang tampak begitu nikmat memakan kue hasil curiannya.
Post a Comment