Rumah Tanpa DP Bukan Tipuan, Ini Analisisnya


meme-rumah-tanpa-dp
Meme Rumah Tanpa DP
SATU dari 23 program pasangan calon (paslon) Pilkada DKI Jakarta 2017 Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang belakangan kembali jadi sorotan, adalah program rumah murah tanpa down payment (DP) alias uang muka. Enggak sedikit yang mencibir dan percaya bahwa ini mission impossible.

Program ini terangkat lagi di antara beberapa program lainnya, pasca-Anies dan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), saling adu argumen di sebuah forum debat nonresmi Mata Najwa yang dipandu presenter Najwa Shihab di sebuah televisi swasta pada 27 Maret 2017.

Soal masalah hunian, Ahok menilai sudah nyaris mustahil buat masyarakat yang penghasilannya kecil untuk punya rumah di Jakarta. Makanya, Ahok “memberi” solusi agar warga yang penghasilannya tidak ‘wah’, untuk lebih baik cari rumah di pinggiran Jakarta.

“Orang dengan gaji Rp3 juta pun, dia tidak sanggup bayar pemeliharaan. Karena harga jual rumah sudah mencapai Rp1 miliar di tengah kota. Gimana mau beli rumah ukuran 50 meter persegi sudah Rp300 juta? Jadi, warga tak bisa beli rumah di tengah kota. Kita usulkan, bagi mereka yang punya gaji Rp7-10 juta yang beli tanah di pinggiran Jakarta ... kos di apartemen," ujar Ahok.

Berlawanan dengan Ahok, Anies menilai warga dengan penghasilan (tetap) minim masih bisa kok punya rumah di Jakarta. Anies bahkan pede (percaya diri.red) bahwa masih ada rumah di Jakarta seharga Rp350 juta.

"Warga memiliki kesempatan memiliki rumah mereka. Kami memberikan bantuan pembiayaan rumah. Rumah dengan angka Rp350 juta itu banyak, bukan hanya di pinggiran kota, di tengah kota banyak. Pemerintah harus menyelesaikan supply and demand," timpal Anies.

Tapi yang jadi masalah itu sebenarnya bukan harga murah, menurut Anies. Melainkan pembiayaan untuk uang muka. Oleh karenanya, Anies ingin ada gebrakan bahwa pemerintah (daerah) bisa membantu agar warga bisa beli rumah zonder (tanpa) DP.

Caranya? “Bisa diselesaikan, karena itu ada perbankan, karena itu ada mekanisme keuangan modern, jadi jangan terlalu khawatirlah kalau soal begitu,” imbuhnya.

Ya, kurang lebih seperti itu perdebatan ketat antara Anies vs Ahok soal hunian ini. Jelas, soal rumah memancing perhatian semua kalangan tentunya. Baik dari kalangan masyarakat bawah, hingga menengah ke atas yang penghasilannya juga enggak gede-gede amat.

Kalangan dari yang gaji tetapnya hanya Rp3-7 juta per bulan. Anies sendiri juga pernah nyeletuk. Kenapa memiliki kendaraan bisa lebih gampang, bahkan bisa DP Rp0 ketimbang memiliki rumah?

Memang kalau dipikir logikanya kalau harga kendaraan lama-lama setelah dipakai bisa turun. Sementara rumah walaupun bukan rumah baru, harganya bisa tetap naik.

Ini pula yang sebenarnya Anies ingin warga Jakarta juga bisa merasakannya (kenaikan harga rumah). Lagi pula penjelasan Anies, program rumah tanpa DP ini bukan berarti nantinya pemda akan membuka perumahan baru, kok. Melainkan program ini lebih kepada bantuan pembiayaan.

Kalau mau lebih detail, mari kita lihat penguraian program ini sesingkat mungkin dari yang dibeberkan tim Anies-Sandi di situs jakartamajubersama.com:

Program ini berangkat dari data bahwa di DKI warganya masih kekurangan 309.319 tempat tinggal dan hanya 51 persen dari total warga yang punya rumah atau properti sendiri, baik “rumah darat” maupun rumah vertikal (rusun/apartemen).

Kalaupun masyarakat bawah dan menengah ingin punya rumah, problemnya ada di uang muka yang besarannya berkisar 20-30% dari nilai properti. Ya kalau misalkan harga rumahnya Rp350 juta, berarti uang mukanya Rp52,2 juta. Berat kan kalau yang memang cuma punya penghasilan Rp3-7 juta per bulan?

Makanya program ini diusung Anies-Sandi dengan skema: 

analisis-rumah-tanpa-dp
Analisis Rumah Tanpa DP dari Anies-Sandi
Jadi nantinya DP-nya akan lebih dulu ditalangi Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (ABD) dan warga bisa melunasinya dengan cara mencicil dengan melibatkan sistem perbankan.

Tentu akan ada syarat-syaratnya. Antara lain harus punya KTP DKI denga masa tinggal tertentu, punya penghasilan maksimal Rp7 juta per bulan, serta catatan kebiasaan menabung Rp2,3 juta per bulannya di Bank DKI untuk penilaian.

Kritik atau penentangan soal program ini tentu tak sedikit. Mulai dari Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia, hingga Bank Indonesia. Karena katanya program ini bertentangan pula dengan peraturan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Namun Anies-Sandi merasa tak ada peraturan yang dilanggar, jika program ini dijalankan dengan prinsip kehati-hatian.

Program ini bukan sembarang program, karena program serupa tapi tak sama justru pernah dilakukan pemerintah pusat. Seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat misalnya. Mereka punya program BP2BT (Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan).

Program pemerintah ini didukung World Bank yang konsepnya ditujukan untuk pekerja sektor informal. Intinya, program ini memberi bantuan uang muka 20-30% dari harga rumah secara gratis dan sisanya dicicil sendiri oleh konsumen dengan bunga komersil.

No comments